I. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bagian
bumi yang tertutup air hampir dua per tiga lapisan bumi. Indonesia dikenal
sebagai negara kepulauan Archipelago atau
nusantara. Selain itu juga dikenal sebagai negara maritim. Sejak zaman
purbakala Indonesia dikenal memiliki kekayaan laut yang sangat kaya akan
keragamannya, sehingga menjadi rebutan oleh bangsa-bangsa penjajah agar dapat diambil
kekayaan lautnya. Dengan wilayah laut yang sangat luas dari Sabang sampai
Merauke, Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta
km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7
juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), serta terdiri lebih dari 13.500 pulau,
menyimpan kekayaan yang luar biasa. Jika dikelola dengan baik, potensi kelautan
Indonesia diperkirakan dapat memberikan penghasilan lebih dari 100 miliar dolar
AS per tahun. Namun yang dikembangkan kurang dari 10 persen. Dengan laut yang
maha luas, potensi ekonomi laut Indonesia diperkirakan mencapai 1,2 triliun
dollar AS per tahun, atau dapat dikatakan setara dengan 10 kali Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012. Oleh karena itu, apabila seluruh
potensi kelautan ini dikelola dengan baik maka diperkirakan 85% perekonomian
nasional akan sangat bergantung pada sumber daya kelautan.
Kondisi
saat ini negeri maritim Indonesia masih dalam kondisi memprihatinkan menjadi
ironi bagi bangsa Indonesia terutama masyarakat pesisir, padahal indonesia
memiliki potensi sumber daya ikan laut diperkirakan mencapai 6,7 juta ton per
tahun (Andi Iqbal Burhanuddin, 2013). Bukan hanya itu Indonesia juga masuk
dalam Coral Triangle dimana kekayaan dan keragaman jenis karang terbanyak di
dunia ada di Indonesia. Dengan permasalahan tersebut maka sekiranya dianggap
penting menulis karya ilmiah ini sekaligus merupakan sumbangsih pikiran penulis
dalam mempengaruhi hari Nelayan Nasional yang jatuh pada tgl 6 April 2013.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Mengapa
kondisi nelayan Indonesia masih dalam garis kemiskinan
2. Bagaimana
pemanfaatan sumber daya alam laut yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan
pemanfaatan di Jepang.
3. Solusi
apa yang bisa ditawarkan dalam pengelolaan sumber daya alam laut Indonesia.
1.3
Tujuan
dan Kegunaan
Berdasarkan permasalahan tersebut,
maka penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Merekomendasi beberapa
solusi dalam permasalahan tersebut
2.
Menganalisis
permasalahan wilayah pesisir sebagai daerah nelayan di Indonesia dan Jepang.
1.4
Luaran yang Diharapkan
Dari hasil penelitian ini kami
mengharapkan :
1. Ada
penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan pengelolaan kelautan di
masing-masing negara.
2. Informasi
lebih lengkap mengenai langkah-langkah pemerintah dalam mengentas kemiskinan
nelayan Indonesia serta hal yang telah dilakukan
1.5
Kegunaan
Penelitian
ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai permasalahan -permasalahan
di masing-masing negara kepulauan baik Indonesia maupun Jepang. Dapat memberikan
informasi tentang keadaan nelayan negeri maritim Indonesia.
II. Tinjauan
Pustaka
2.1 Negara
Maritim Indonesia
Negara maritim merupakan
negara yang dianggap peduli dan mempu untuk mengolah sumber daya kekayaan dari
dasar hingga permukaan lautnya dan malah jika perlu hingga lautan samudra
lainnya. Hal ini berbeda dengan konsep negara kepulauan yang “sebatas” negara yang
memang terlahir dengan banyak pulau. Sejak zaman kerajaan-kerajaan jauh sebelum
Indonesia merdeka, semangat maritim sudah menggelora di bumi pertiwi tercinta
ini, bahkan beberapa kerajaan zaman itu mampu menguasai lautan dengan armada
perang dan dagang yang besar. Namun semangat maritim tersebut menjadi luntur
tatkala Indonesia mengalami penjajahan oleh pemerintah kolonial belanda. Pola
hidup dan orientasi bangsa “dibelokkan” dari orientasi maritime ke orientasi
agraris (darat). Pada zaman kemerdekaan, berbagai upayapun telah dilakukan oleh
para pendahulu bangsa ini untuk kembali menggelorakan semangat maritim bangsa
Indonesia. Sebagai negara merdeka, Indonesia mulai berupaya mendapatkan
pengakuan dunia sebagai Negara Kepulauan. Namun upaya ini tidaklah mudah karena
dibutuhkan kemampuan diplomasi serta pemahaman tentang hukum laut dan hukum
internasional yang baik. Akhirnya pada tanggal 13 Desember 1957 terbitlah
Pengumuman Pemerintah tentang Perairan Indonesia yang dikenal dengan “Deklarasi
Djuanda” yang mendeklarasikan Wawasan Nusantara yang bertujuan untuk menyatukan
nusantara dalam suatu kekuatan hukum untuk menghindari disitegrasi bangsa
Indonesia. Meski secara de yure sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945, sudah ditetapkan bahwa Indonesia yang diproklamasikan adalah Ex
Nederlands Indie (Hindia Belanda), sebuah negara yang terdiri dari gugusan
pulau yang kini dikenal dengan Negara Kepulauan.
Dengan cakupan yang demikian
besar dan luas, tentu saja laut Indonesia mengandung keanekaragaman suberdaya
alam laut yang potensial, baik hayati dan non-hayati yang tentunya memberikan
nilai yang luar biasa pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang dengan
kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari, sumber
energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media
transportasi antar pulau yang sangat ekonomis. Letak geografis kita strategis,
di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70 persen angkutan
barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah
Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan kita.
Beberapa elemen bangsa yang
memahami betul potensi terbesar Indonesia sebagai Negara Kepulauan terus
berjuang untuk menggelorakan semangat untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara
Maritim. Sebagai catatan, bahwa pengertian Negara Kepulauan dan Negara Maritim
sangatlah jauh berbeda. Negara Kepulauan adalan ciri sebuah negara yang secara
geografis terdiri atas banyak pulau yang terikan dalam suatu kesatuan negara. Sedangkan
Negara Maritim adalah sebuah negara yang menguasai semua kekuatan strategis di
lautan yang didukung oleh kekuatan maritim baik itu aramada peradagangan,
armada perang, Industri maritim serta kebijakan pembangunan negara yang
berbasis maritim.
Jika mencermati istilah
tentang Negara Maritim, maka saat ini Indonesia belum bisa dikategorikan
sebagai Negara Maritim tapi masih sebatas Negara Kepulauan. Namun jika ada
kesepahaman dan ada komitmen para pemimpin bangsa ini untuk menjadikan
Indonesia sebagai Negara Maritim yang besar dan kuat serta disegani dunia
Internasional, peluangnya sangatlah besar. Perjuangan menuju Negara Maritim
memang tidak mudah, namun jika seluruh bangsa ini memiliki kesamaan visi dan
kebulatan tekad maka hal tersebut bukanlah hal yang mustahil. Deklarasi Djuanda
1957 dan UNCLOS 1982 memberikan peluang yang besar bagi bangsa Indonesia untuk
diimplementasikan secara serius melalui kebijakan-kebijakan pembangunan
nasional yang memprioritaskan orientasi yang berbasis maritim. Melahirkan
kebijakan pembangunan melaui perundang-undangan, pembangunan kekauatan
armada pertahanan, armada perdagangan, industri dan jasa maritim yang ditunjang
dengan penguasaan IPTEK merupakan upaya serius yang harus segera dilakukan
menuju Indonesia sebagai negara maritim (Paonangan, 2013)
1.2
Permasalahan
– Permasalahan yang Dihadapi Nelayan
Diantara kategori pekerjaan
terkait dengan kemiskinan, nelayan sering disebut sebagai masyarakat termiskin
dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor).
Berdasarkan data World Bank mengenai kemiskinan, bahwa 108,78 juta
orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan
rentan menjadi miskin. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan
berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia sebesar
34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut
diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar
AS. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah
pesisir dan pedesaan (Rahmatullah. 2008).
Akar kemiskinan nelayan
Kemiskinan
diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara
dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2006). Sedangkan menurut Depsos, kemiskinan
merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan
minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty
line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan
adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat
membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kilo per kalori per orang per hari dan
kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan,
pendidikan dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian,
kesehatan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (Suharto, 2005).Banyak
faktor yang menyebabkan mayoritas nelayan di Indonesia masih terlilit derita
kemiskinan. Sejumlah faktor itu dapat dikelompokkan menjadi tiga:
1.5.1 Faktor Teknis
Secara teknis, pendapatan nelayan bergantung
pada nilai jual ikan hasil tangkap dan ongkos (biaya) melaut.
Selanjutnya, nilai jual ikan hasil tangkapan ditentukan oleh ketersediaan stok
ikan di laut, efisiensi tekonologi penangkapan ikan, dan harga jual ikan.
Sedangkan, biaya melaut bergantung pada kuantitas dan harga dari BBM,
perbekalan serta logistik yang dibutuhkan untuk melaut yang bergantung pula pada
ukuran (berat) kapal dan jumlah awak kapal ikan. Selain itu, nilai
investasi kapal ikan, alat penangkapan, dan peralatan pendukungnya sudah tentu
harus dimasukkan kedalam perhitungan biaya melaut.
1.5.2
Faktor Kultural
Faktor yang boleh jadi merupakan penyebab
dominan dari kemiskinan nelayan adalah yang bersifat struktural, yakni
kebijakan dan program pemerintah yang tidak kondusif bagi kemajuan dan
kesejahteraan nelayan. Mahal dan susah didapatkannya BBM, alat tangkap,
beras, dan perbekalan melaut lainnya bagi nelayan, terutama nelayan di luar
Jawa, wilayah perbatasan, dan pulau-pulau kecil terpencil, merupakan bukti
nyata dari minimnya kepedulian pemerintah kepada nelayan. Demikian juga
halnya dengan sumber modal. Sampai saat ini nelayan, terutama yang
tradisional, masih sangat sulit atau tidak bisa mendapatkan pinjaman kredit
dari perbankan. Bayangkan, kapal ikan yang terbuat dari kayu, sebesar
apapun, belum bisa dijadikan sebagai agunan. Prasarana pendaratan ikan atau
pelabuhan yang memenuhi persyaratan santitasi dan higienis yang dilengkapi
dengan industri hilir (pengolahan hasil perikanan) juga masih terbatas bagi
nelayan. Harga jual ikan yang sangat fluktuatif (tak menentu) juga belum
secara tuntas diatasi oleh pemerintah. Alih-alih ikan impor membanjiri pasar
domestik kita dalam tiga tahun terakhir.
1.5.3
Faktor Struktural
Kegiatan pencurian ikan (illegal,
unregulated and unreported fishing) oleh nelayan asing yang kian marak
juga tidak diberantas secara sungguh-sungguh. Akhir-akhir ini banyak
pengusaha nasional yang ‘nakal’ menggunakan kapal ikan asing yang
benderanya sudah diubah menjadi bendera Indonesia beroperasi menangkap ikan di
Indonesia. Padahal, kapal-kapal eks asing itu sejatinya masih milik pengusaha
asing, seperti Thailand, Taiwan dan RRC. Ikan hasil tangkapnya hanya
sebagian kecil didaratakan di pelabuhan perikanan Indonesia, hanya untuk
mengelabuhi (kamulflase) aparat pemerintah dan rakyat Indonesia.
Sedangkan, porsi besar ikannya dibawa ke negara masing-masing dan diproses di
sana. Selain rugi ikan, Indonesia pun dirugikan melalui BBM bersubsidi
yang sejatinya untuk nelayan nasional, jadi dimanfaatkan oleh nelayan asing.
Demikian
pula, dengan masalah pencemaran laut dan perusakan eksistem pesisir yang
menjadi tempat pemijahan dan asuhan ikan serta biota laut lainnya malah semakin
hari semakin parah. Strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan
iklim global juga belum disiapakan dengan baik. Dan, banyak kendala
struktural lainnya yang hingga kini belum diatasi oleh pemerintah. Dalam
tataran praktis, nelayan miskin karena pendapatan (income) nya lebih
kecil dari pada pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan diri
nya dalam kurun waktu tertentu. Sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya
nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial/modern (diatas 30
GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta/bulan) dan sangat fluktuatif
alias tidak menentu (Rokhmin Dahuri, 2012).
Keterbatasan
Bahan Bakar
Keterbatasan bahan
bakar minyak, jeratan utang ke tengkulak, permainan harga jual ikan, dan
terbatasnya daya serap industri pengolahan ikan menjadi persoalan klasik yang
mendera nelayan hingga hari ini.
Kondisi lain yang turut berkontribusi
memperburuk tingkat kesejahteraan nelayan adalah mengenai kebiasaan atau pola
hidup. Tidak pantas jika kita menyebutkan nelayan pemalas, karena jika dilihat
dari daur hidup nelayan yang selalu bekerja keras. Namun kendalanya adalah pola
hidup konsumtif, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk
persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan
sekunder. Namun ketika paceklik, pada akhirnya berhutang, termasuk kepada
lintah darat, yang justru semakin memperberat kondisi. Deskripsi diatas
merupakan pusaran masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan umumnya di
Indonesia.
Pokok
Masalah
Terdapat 5 (lima) masalah pokok terkait penyebab kemiskinan
masyarakat nelayan, diantaranya:
1.
Kondisi Alam. Kompleksnya permasalahan
kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam
suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan
usahanya.
2.
Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan
yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber
daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat
rendah.
3.
Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana
pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik,
melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.
4.
Pemasaran
hasil tangkapan. Tidak
semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut
membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada
tengkulak dengan harga di bawah harga pasar.
5.
Program pemerintah yang belum memihak nelayan, kebijakan pemerintah yang tidak memihak
masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top
down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek.
Kebijakan yang pro nelayan mutlak diperlukan, yakni sebuah kebijakan sosial
yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan nelayan (Rahmatullah, 2008).
BAB III METODE
PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian
Lokasi penelitian kami adalah kepulauan
Spermonde yaitu pulau Barrang Lompo, pulau Badi dan pulau Bone Tambung (1190
19' 48'' BT dan 05o 02'48'' LS) mulai
tgl 3-30 Februari 2013 sedangkan untuk lokasi di Jepang kami laksanakan
sebelumnya pada bulan Oktober 2012 di daerah pesisir Ehime Prefecture.
Kepulauan Spermonde, Indonesia
Gambar 02 Pulau Barrang Lompo Gambar 03 Pulau Pulau
Badi
Gambar 04
Pulau Pulau Bone Tambung
Gambar
06 Ehime Prefecture, Jepang
Gambar 07. Zenitsubo, Ainancho, Ehime
Prefecture, Japan
Gambar 08. Komobuchi, Uwajima, Ehime
Prefecture, Japan
Penelitian
ini kami bagi dua, yaitu metode kepustakaan Mei 2013 dan dan metode wawancara
bulan oktober 2012 – Mei 2013 yang kami
lakukan.
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini tergolong metode penelitian deskriptif-kualitatif berupa perspektif sosiologis mengenai
pengelolaan kelautan di masing-masing daerah dan juga kami lakukan
1. Metode Kepustakaan
Metode
ini dilakukan untuk mengumpulkan data, bahan tulisan dan kajian kepustakaan
melalui kegiatan membaca buku-buku yang mempunyai hubungan erat dengan judul
karya tulis ilmiah ini, yang selanjutnya ditelaah oleh penulis.
2.
Metode
Observasi Lapangan
Metode
ini kami lakukan di pulau Barrang Lompo, Badi, dan Bone Tambung, Kepulauan
Spermonde, Makassar, Indonesia sedangkan di Jepang di Zenitsubo, Ainancho dan
Komobuchi, Uwajima, Ehime Prefecture, Japan untuk langsung kondisi daerah
pesisir yang menjadi daerah penelitian kami. Kami melakukan teknik observasi
(pengamatan) digunakan pada saat penelitian pendahuluan.
3.
Metode
Wawancara
Metode yang keetiga ini adalah dengan
wawancara kami memberikan beberapa pertanyaan secara langsung kepada nelayan
dan kemudian setelah itu data yang kami peroleh datanya di. Ini dilakukan untuk
memperoleh data hal-halnya yang dilakukan dalam pengelolaan kelautan di
masing-masing daerah baik di Selat Makassar maupun di ehime Prefecture. Teknik
wawancara dalam penelitian ini lebih ditujukan sebagai alat penguji kebenaran
dan kemantapan suatu peristiwa yang dicapai dari metode observasi (Kartono,
1996).
BAB IV HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1 Pulau Badi
Jumlah Kepala Keluarga di pulau ini
adalah sekitar 400 KK, secara administratif terletak di Kecamatan Liukang
Tuppabiring, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Masyarakat pulau Badi
pada umunya 90% berprofesi sebagai nelayan dan sisanya pengumpul ikan hidup
(pemilik usaha). Berikut presentasi nelayan di Pulau Badi:
Diagram 1. Profesi
Nelayan di Pulau Badi
Nelayan di pulau ini terbagi
dalam tiga bagian, yaitu Pagae’
(Nelayan dengan mini trawl), Pakeddo-keddo’ (Nelayan dengan alat
tangkap pancing), dan Pemancing Cumi (Nelayan yang menggunakan daun kelapa). Adapun
alternatif job di pulau Badi ini
adalah pembiakan kuda laut dan teripang, juga beberapa yang melakukan pemeliharaan
ikan hias yang nantinya di jual di pengumpul di Paotere, Makassar. Penangkapan
ikan yang terlalu jauh misalnya dekat kalimantan mengharuskan nelayan merogoh
kocek lebih banyak.
4.2 Pulau Barrang Lompo
Sedangkan alternatif job yang dilakukan oleh masyarakat pulau Barrang Lompo
adalah Menjual Snack, Gorengan dan Distribusi hasi laut. Saat ini dengan
kerjasama perusahaan dan universitas hasanuddin dilakukan pengembang biakan
abalone yang harapannya nanti bisa menjadi pekerjaan alternatif bagi warga
barrang lompo. Berdasarkan hasil wawancara beberapa nelayan teripang
mengeluhkan mengenai mahalnya Bahan Bakar Minyak (BBM) estimasi yang digunakan
adalah modal yang harus digunakan adalah 30 juta sedangkan bila keuntungan yang
diperoleh adalah sekitar 90 juta dengan total bersih 60 juta itu tejadi bila
kondisi penangkapan banyak sedangkan bila terjadi kerugian bisa mencapai 20
juta, bukan hanya itu nelayan teripang sangat rentan dengan lumpuh sehingga
banyak nelayan di pulau Barrang Lompo mengalami lumpuh bahkan meninggal.
4.3 Pulau Bone Tambung
Pulau Bone tambung kecamatan
ujung tanah, dengan jumlah penduduk sekitar 481 orang hampir sama dengan pulau
lainnya di kepulauan spermonde. Pulau
ini berjarak sekitar 18 km dari makassar, luasnya sekitar 5 ha. Dengan jarak
yang lumayan jauh dan transportasi yang masih minim menyebabkan akses ke pulau
ini menjadi susah, ini berdampak dengan kualitas pendidikan yang harus diserap
siswa-siswa di pulau ini disebabkan tenaga pengajar yang kurang. Pada umumnya
masyarakat pulau Bone tambung bergantung hidup pada alam, mereka mencari ikan
langsung di laut. Adapun alternatif jobnya adalah penjual dan pengumpul ikan.
4.4 Zenitsubo, Ainancho,
Ehime Prefecture, Japan
Di Zenitsubo dengan bantuan
pengusaha bernama Osaki san yang merupakan orang asli daerah ini, usahanya
untuk kembali ke daerah asalnya memberikan banyak motivasi untuk membangun
daerah kelahirannya yang mengharuskan pindah dari kota Osaka ke desa nelayan
Zenitsubo. Usia rata-rata di desa nelayan ini adalah 55 tahun bayangkan bedanya
dengan pulau yang ada di Barrang Lompo rata-rata 30 tahun. Alternative job yang
dimiliki masyarakat setempat adalah mengubah daerahnya yang pinggir pantai
menjadi tempat wisata namun hal ini masih dalam pengerjaan, budidaya kelautan
dengan keramba menjadi pekerjaaan umum yang dilakukan di desa ini.
4.5 Komobuchi, Uwajima,
Ehime Prefecture, Japan
Di daerah ini kami juga sangat
sulit menemukan anak seusia kami, rata-rata umur mereka lebih sedikit muda dari
pada Zenitsubo. Ada yang bagus dalam pengelolaan hasil laut mereka. Beruntung
kami diberi kesempatan mengunjungi Perusahaan Dainichi Factory yang
memperoduksi pelet atau makanan ikan. Nelayan akan menjual hasilnya di
perusahaan ini kemudian, nelayan akan membeli pelet yang diperoduksi oleh
perusahaan ini. Perusahaan ini langsung menjual hasil laut ke Tokyo atau Osaka.
Ikan segar yang dibutuhkan untuk membuat sushi mengharuskan mereka harus mengantarkan
maksimal 12 jam.
Alternatif job yang dilakukan
di daerah ini adalah budidaya mutiara, garam mineral berkualitas tinggi, dan
budidaya laut keramba. Uwajima terkenal sebagai penghasil mutiara di prefecture
ini. Pembuatan garam di daerah ini tidak
seperti di Indonesia dia menambahkan alga dalam kandungannya. Sedangkan
budidaya keramba merupakan hal biasa untuk nelayan penghasilannya pun per bulan
sekitar 1 milyar dengan total bersih keuntungan sekitar 700 juta yang lebih
dari cukup bagi mereka. Bukan hanya itu masyarakat terlibat langsung dan
penyadaran sendiri dengan melestarikan alam lautnya dengan budidaya rumpul laut
atau alga.
Ada yang bisa kita
pelajari dari sistem perikanan yang ada di negeri sakura, yaitu pembatasan
pengambilan langsung ikan di laut dan pemerintah merekomendasikan penggunaan
budidaya apung. Selain tidak harus jauh`mencari ikan, sistem ini juga menghemat
Bahan Bakar Minyak (BBM).
BAB V. Simpulan dan Saran
Dari
hasil penelitian dan kajian pustaka yang telah dilakukan disimpulkan bahwa :
1. Adanya
perbedaan pengelolaan hasil laut yang dilakukan di beberapa pulau di Indonesia
dan Jepang:
·
Pengelolaan Hasi Laut
di beberapa pulau di kepulauan Spermonde, Indonesia.
Sebagian
besar nelayan di pulau Badi dan Karanrang melakukan penangkapan ikan secara
langsung di perairan laut sehingga bukan hanya bermasalah di penggunaan Bahan
Bakar Minyak yang banyak yang menyebabkan menurunya penghasilan mereka. Begitu
pula dengan pekerjaan alternatif yang dilakukan masih minim dan belum maksimal
·
Pengelolaan Hasil Laut
di Ehime Prefecture, Jepang
Sebagian
besar nelayan di Komobuchi dan Uwajima adalah Marine Culture atau budidaya kelautan dengan menggunakan keramba
selain mereka lebih mudah mencapai tempat keramba, mereka juga tidak harus
mengeluarkan banyak uang dalam bahan bakar dan mereka tidak diharuskan selalu
ke laut sehingga banyak waktu dilakukan untuk pekerjaan alternatif seperti
budidaya mutiara, pembuatan garam mineral kualitas tinggi dan pembuatan ikan
kering segar yang tentunya berbeda dengan di Indonesia. Ada beberapa yang sama
di Indonesia seperti pembuatan garam namun yang berbedad adalah peningkatan
kualitas garam di jepang lebih tinggi dengan penambahan alga dalam garam. Bukan
hanya itu masyarakat sadar sendiri dengan konservasi lautnya. .
2. Perbedaan
pengelolaan hasil laut dan cara penangkapan menyebabkan yang berbeda
menyebabkan nelayan Indonesia masih sulit untuk mengembangkan dan pendapatan
yang kurang. Pengelolaan yang masih tradisional yang dilakukan di negara kita
dan terkesan apa adanya serta mengutamakan kuantitas sedangkan di Jepang mereka
melakukan hal yang berbeda mereka cenderung melakukan marine culture serta alternative
job serta pekerjaan yang mengutamakan kualitas. Beranjak dari anatomi permasalahan
kemiskinan nelayan, maka kebijakan, strategi, dan program untuk memerangi
kemiskinan nelayan dan sekaligus mensejahterahkannya haruslah bersifat terpadu,
dan sistematik serta dikerjakan secara berkesinambungan.
3. Solusi
yang direkomendasikan adalah:
a) Pengalihan
ke mata pencaharian lain sebagai alternative
job seperti budidaya laut (marine
culture), budidaya tambak dll.
b) Manajemen
berbasis kawasan lindung laut (marine protected area)
c) Peningkatan
kualitas hasil produksi laut
d) Pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan
e) Control
laju penangkapan
Daftar Pustaka
Adlina, Atrasina dan
Baso Hamdani. 2012. Tragedy of Common Property.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan: Makassar
Dahuri, Rokhmin.
2012. Akar Masalah Kemiskinan Nelayan dan Solusinya. http://rokhmin
dahuri.info/2012/10/10/akar-masalah-kemiskinan-nelayan-dan-solusinya/
(on line pukul 14:42 tgl 2 April 2013).
Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Cet. 7. Ed. 3. Jakarta. Mandar Maju.
Iqbal
Burhanuddin, Andi. 2013. Nestapa Nelayan di Negeri
Maritim. Harian Fajar, Makassar
Widiantoro, Wisnu.
2013. Minapolitan dan Hasil Nelayan. Kompas. http://ikanlautindonesia.
blogspot.com/2010/04/hari-nelayan-minapolitan-dan-nasib.html (on line pukul
14:42 tgl 2 April 2013
5 comments: