Pesan Jenderal Soedirman di Perbatasan Sebatik
Sebatik mulai menorehkan kisahnya dari masa Kerajaan Tidung dan awal penjajahan Belanda. Menurut beberapa sumber kata
Sebatik berasal dari ular sawah dan batik. Pada masa penjajahan tersebut,
perintis Belanda di Pulau Sebatik melihat ular sawah yang bercorak batik
sehingga menyebutnya sawah batik yang kemudian disingkat menjadi sebatik.
Pulau Sebatik terbagi
dua wilayah administrasi yaitu wilayah jajahan Belanda dan Inggris yang merupakan hasil
kompromi dan perjanjian antara mereka sebagai
warga Eropa. Pada saat kemerdekaan Indonesia dan
terbentuknya negara Malaysia, Pulau Sebatik tetap terbagi menjadi dua. Sebagian
wilayah milik Indonesia dibawah jajahan Belanda dan sebagian lagi milik
Malaysia dibawah jajahan Inggris. Walaupun telah terdapat patok batas namun sejarah perjanjian bilateral antar negara telah
disepakati, meskipun ada patok yang tidak sesuai dari masa penjajahan
terdahulu.
Perbatasan darat dan laut yang ada di Pulau Sebatik memiliki ciri khas tersendiri sehingga menarik perhatian.
Beberapa
isu perbatasan di Sebatik saat ini adalah isu
eksodus
masyarakat perbatasan, pelanggaran perbatasan yang
dilakukan negara tetangga, lalu lintas barang haram narkoba hingga
terjadinya trafficking. Permasalahan
tersebut menjadi tugas besar bagi pemerintah Indonesia untuk dapat memberi perhatian dan
mengelola perbatasan menjadi lebih baik. Usaha pemerintah Indonesia
dengan mengirimkan sejumlah personil TNI di perbatasan
menjadi sebuah langkah dalam kerangka pendekatan keamanan
(security approach). Sejak dulu, perbatasan Indonesia dijaga secara ketat, hingga semangat
Jenderal Soedirman telah mengalir deras dalam jiwa pejuang kita di perbatasan “Sejengkal tanah pun
tidak akan kita serahkan kepada lawan” hingga motto
perbatasan “NKRI harga mati” menjadi motto dan tugu resmi di Pulau Sebatik.
Kebijakan pemerintah
yang mengedepankan security
approach ternyata tidak diikuti serta merta oleh negeri
jiran Malaysia. Langkah yang diambil Malaysia berbanding terbalik dan lebih memilih pada pendekatan kesejahteraan {prosperity approach). Saat ini bahkan kiblat ekonomi perbatasan lebih
cenderung mengarah ke negeri jiran. Hal ini bisa dilihat dari aktivitas dan relasi Kota Tawau, Malaysia dan Pulau Sebatik, Indonesia. Perekonomian Sebatik bergantung pada Kota Tawau yang jauh
lebih sejahtera dibanding Pulau Sebatik. Salah satu masalah yang sulit ditangani saat ini adalah
Tenaga Kerja Indonesia yang menjadikan Sebatik sebagai entry point bepergian ke
Malaysia. Banyak TKI yang secara illegal masuk ke
Malaysia untuk menyambung hidup, desakan ekonomi serta tidak jarang terbawa pada bisnis narkoba dan kriminalitas lainnya. Masalah ekonomi
memang mendominasi problematika masyarakat di Pulau Sebatik. Hal ini bisa
dilhat dari adanya disparitas ekonomi masyarakat antara warga Indonesia dan
Malaysia, Tawau menjadi magnet yang begitu kuat menarik imigran Indonesia untuk
berpindah dan mencari kehidupan di Malaysia. Masyarakat kedua negara serumpun ini
rupanya memiliki rasa primodialisme tinggi namun minim nasionalisme. Tidak mengherankan
bila ada warga negara Indonesia yang memiliki dua identitas yang berbeda untuk
satu orang, penduduk yang memiliki KTP Indonesia dan juga memiliki IC (Identity Card) Malaysia, begitu pula
pemakaian mata uang ringgit. Sejauh ini, Malaysia lebih berhasil melakukan
pembangunan dan penyediaan sarana ekonomi, pendidikan, infrastruktur dan tunjangan hidup warganya.
Gambar. Kota Tawau, Malaysia
Dilihat dari Pulau Sebatik, Indonesia
|
Pertanyaan yang perlu
dikedepankan kemudain adalah apakah Indonesia harus tetap bertahan dengan
pendekatan pengeolaan yang selama ini di jalankan, atau perlu merubah haluan
untuk memberikan penekanan pada kesejahteraan masyarakat?. Ketika negara
tetangga telah naik status dan kemajuan ekonomi yang relatif baik. Jawabannya
adalah tentunya tidak. Diperlukan integrasi pengelolaan perbatasan melalui penggabungan
pendekatan antara prosperity approach
dan security approach. Lalu langkah apa yang seharusnya dilakukan
dalam pembangunan perbatasan di Pulau Sebatik yang bisa menjadi role model bagi pembangunan perbatasan lainnya. Beberapa
hal yang perlu diperhatian adalah pertama integrasi dan keberlanjutan pembangunan.
Konsep pembangunan perbatasan yang direncanakan sebenarnya sudah bagus namun lemah
pada saat di implementasikan. Pembangunan nampak dilakukan tanpa pertimbangan
konektivitas, integrasi antar sektor dan memenuhi unsur keberlanjutan.
Akibatnya, banyak sarana dan infrastruktur yang sebenarnya sudah terbangun
kemudian tidak dimanfaatkan. Tidak jarang ditemui fasilitas umum yang sudah
ada, terbengkai karena minimnyya pemanfaatan oleh masyarakat. Kedepan
diperlukan perencanaan yang baik, rasional, berbasis kebutuhan dan problem
masyarakat dalam pembangunan perbatasan. Infrastruktur dasar seperti jalan,
listrik, air bersih dan lain-lainnya seharusnya menjadi patokan utama
pembangunan, dilanjutkan pembangunan lainnya. Diperlukan partisipasi masyarakat berupa
tanggung jawab bersama terhadap bangunan yang ada. Kedua masalah sumber daya manusia. Jumlah
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di Malaysia merupakan jumlah terbesar
yang ada di luar negeri. Namun kebanyakan menjadi buruh murah bagi negara
tetangga. Walaupun TKI adalah pahlawan devisa bagi Indonesia, namun perhatian pemerintah
terhadap TKI dirasakan masih minimnya. Kurangnya kapasitas atau skill yang
dimiliki TKI menjadi penyebab utama dan sumber persoalan buruh migran selama
ini. Hal ini terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah dan bahkan tidak
memiliki pendidikan. Misalnya saja TKI yang ada di Sebatik Malaysia yang telah
bekerja bahkan telah berada pada keturunan keempat dari keluarga pertama kali
mereka ke Malaysia. Mereka selama ini dibayar murah sebagai buruh kelapa sawit,
jam kerja yang padat dan juga tanpa pendidikan. Tidak mengherankan bila TKI
kita ada yang buta aksara dan tidak berpendidikan. Sulitnya akses pendidikan
menjadikannya TKI dalam status terbelakang. Guna menjawab masalah ini pemerintah
seharusnya lebih memperhatikan masalah pendidikan di perbatasan serta
meningkatkan kapasitas atau skill para TKI melalui pelaksaan kursus, magang dan
kegiatan peningkatan skill lainny aebelum mereka merantau ke luar negeri.
Ketiga adalah masalah sumberdaya alam. Dengan terpenuhinya
infrastruktur dasar, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana strategi pengelolaan
potensi Sumber Daya Alam (SDA) di lakukan secara berkelanjutan untuk kemakmuran
rakyat. Potensi SDA di perbatasan pulau Sebatik cukup besar. Mata pencaharian
di Pulau Sebatik adalah nelayan dan perkebunan. Komoditas utama seperti kelapa
sawit, kakao dan pisang. Hasil lain yang saat ini menjadi produk unggulan
Kabupaten Nunukan adalah teri ambalat. Jadi ambalat bukan hanya terkenal
sebagai perbatasan yang kaya akan minyak tetapi SDA laut dan perikanan. Ironinya
adalah sebagian besar hasil SDA Pulau Sebatik diekspor ke Tawau dengan harga
jauh lebih tinggi daripada harga di dalam negeri. Cost distribusi bahan yang lebih besar apabila dijual di Indonesia
menjadi alasan utama beban yang harus dipikul masyarakat. Bahkan pisang yang
jumlahnya berton-ton setiap hari memiliki peluang untuk diekspor ke Tawau.
Betapa tidak, para pembeli dari Malaysia telah menunggu di perbatasan untuk
kemudian diangkut ke Tawau. Bukan hanya itu, hasil alam ini ternyata kembali
diekspor Malaysia untuk memenuhi kebutuhan pasar di luar negeri misalnya
Singapura. Keempat adalah masalah hubungan antar negara. Pengalaman pahit
pemerintah Indonesia atas lepasnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dan
kemudian dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional merupakan
pembelajaran mahal bagi negeri ini. Tamparan keras ini membuat Indonesia tidak
mau lengah menjaga perbatasan. Belajar dari masalah tersebut, kini Indonesia
seharsunya lebih memperkuat pengelolaan perbatasan dari semua aspek. Selan itu,
dimensi hubungan Indonesia-Malaysia yang sangat sensistif memerlukan treatment khusus, detil, kesiagaan
tinggi dan responsibiltas cepat jika muncul dan terjadi masalah antar kedua
negara. Jika terjadi ketegangan hubungan antar negara, masyarakat perbatasan
berharap agar itu tidak diselesaikan dengan cara militer sebab akan sangat
menggangu aktivitas perekonomian diperbatasan. Dalil mereka sederhana, bahwa
jika terjadi ketegangan hubungan di perbatasan mereka yang akan lebih dulu
merasakan dampak tersebut, namun pada saat damai, pembangunan wilayah
perbatasanlah yang paling terakhir merasakannya. Sekali lagi, hubungan antar
negara Malaysia-Indonesia seharusnya tidak dilihat sebagai kompetitor yang
menimbulkan masalah antar kedua negara, tapi perlu digeser sebagai mitra dalam
bekerjasama. Menyelamatkan Kelima adalah masalah generasi muda
perbatasan. Kehidupan perbatasan bagi anak-anak Indonesia bukanlah
impian masa kecil namun karena orang tua sebagai perantau mengharuskan mereka
ikut menyelami kerasnya kehidupan perantau pada usia belia. Pendidikan yang
terabaikan, usia kerja muda dan pernikahan di usia muda adalah beberapa
persoalan yang mereka harus hadapi di atas bara perantauan. Minimnya fasilitas
pendidikan, jauhnya akses pendidikan dan orang tua yang sibuk mencari sesuap
nasi turut menyumbangkan anak-anak putus sekolah atau bahkan tidak mengenal
sekolah. Lalu apa yang terjadi ketika anak-anak tidak dibekali pendidikan yang
memadai di perbatasan. Pilihannya adalah bekerja sebagai TKI, usia kerja yang
muda, dan godaan narkoba dan pergaulan bebas. Generasi muda sebagai tiang
pembangunan bangsa ini seharusnya dilihat sangat jeli oleh pemerintah tanpa ada
yang terabaikan. Perlu dilakukan perlindungan pada anak-anak yang berada di
perbatasan terutama anak-anak TKI. Bahkan bila perlu dilakukan proses karantina
pemuda-pemuda perbatasan guna menyelamatkan generasi muda bangsa Indonesia demi
masa depan mereka.
Carut-marut pengelolaan pengelolaan perbatasan Pulau
Sebatik dengan segenap atribut permasalahan yang ada saat ini terjadi tidak
terlepas dari posisi Sebatik yang tinggal di zona 3T (Terjauh, Tertinggal dan
Terdepan). Harapan masyarakat perbatasan terus disuarakan kepada pemerintah
Indonesia. Tak terbilang pejabat pemerintah hingga Presiden sudah lalu lalang
berdatangan untuk ‘memberi angin surga’ dan berjanji pada mereka. Di masyarakat
terkenal ungkapan “hanya Tuhan yang tidak datang disini (perbatasan)” merupakan
ungkapan kekecewaan masyarakat perbatasan yang merasa permasalahan mereka tak
kunjung diselesaikan. Kini, momentum untuk melakukan penataan dan optimalisasi
pengelolaan perbatasan perlu direspon secara lebih substantif dan tidak hanya
sekedar menjadi jargon pembangunan. Pesan Jenderal Soedirman di tugu perbatasan
nampaknya perlu di maknai secara mendalam bahwa mempertahankan NKRI, perlu
dilakukan secara lebih cerdas. Puluhan tahun silam, Panglima besar tersebut
sudah membayangkan beratnya mempertahankan sejengkal tanah negeri ini, bukan
saja oleh agresi negara lain, tapi juga oleh ketidakpedulian dari pemerintah
sendiri. Perbaikan kebijakan pembangunan di perbatasan dan tata kelola
pemerintahan perlu secepatnya dilakukan untuk mewujudkan mimpi kesejahteraan
bagi masyarakat di perbatasan.
Penulis,
Baso Hamdani, Peneliti DFW-Indonesia, pernah bekerja sebagai fasilitator
pulau kecil terluar di Pulau Sebatik
0 comments: