Membidik Potensi Maritim Berau
Pertama kali datang di Berau, saya langsung didecak kagumkan dengan sungai yang meliuk mengapit kota Tanjung
Redeb yang merupakan ibu kota Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Nama sungainya adalah Sungai
Segah yang bermuara di Selat Makassar sejauh 47 km. Tidak salah bila Bang Welli
-̶ Kakak satu almamater di Korpala Kampus
Merah -̶ menerangkan
bahwa kota ini merupakan kota Sungai. Meski demikian sungai dan laut di kabupaten ini patut diperhitungkan karena selain merupakan alur transportasi juga memiliki sumber daya alam yang besar. Sebagai orang baru, tentu saya sangat terbantu
oleh keberadaan sungai ini untuk bernavigasi dalam berkunjung bebas
di Tanjung Redeb.
Di Sungai Segah ini, kapal tagboat lalu lalang dari tambang batu bara menuju Selat Makassar yang akan diekspor ke berbagai negara lain |
Keriuhan kapal tagboat menderek Batu Bara melintasi Sungai Segah. Disudut lain kapal kayu jenis
lambo melipir sedang bongkar muat barang sejajar dengan Jalan Pulau Derawan.
Jalan ini lebih dikenal dengan nama Tepian Teratai, apalagi dengan ciri khasnya
bangunan beton mengikuti pinggiran sungai dan keramaian penjual pisang gampit mirip pisang epe,
makanan khas Makassar. Pantai ini juga mirip pantai losari zaman dahulu atau pantai di
Pare-Pare masa kini. Perbedaannya, dikota tersebut dibangun di pinggir pantai
namun disini dibangun di pinggir sungai yang memiliki lebar 392,29 meter. Di
Sungai Segah, kita bisa menjumpai perahu sewa di dermaga kayu yang kecil untuk
menyeberangi sungai dengan merogoh kocek hanya Rp.5000 sedangkan di dermaga
kayu kecil lainnya dikhususkan untuk berwisata ke Pulau Derawan (112 km dari
Tanjung Redeb) dan Pulau Maratua (120 km dari Tanjung Redeb). Tentu harganya
berbeda yaitu Rp.350.000 per orang atau charter
satu perahu seharga Rp 2.500.000.
Sebagai ukuran sebuah kabupaten,
dengan aktivitas yang padat terutama terutama ekspor Batu Bara menjadikan
Kabupaten Berau tergolong kabupaten yang maju. Penghasilan daerah dari Batu
Bara meraih tingkat atas di kabupaten ini. Menurut Pak Nur – Petugas Pelabuhan
Tanjung Redeb- perkembangan ini sebenarnya sudah meredup sejak dua tahun yang
lalu akibat penurunan harga Batu Bara yang melonjak turun sementara biaya
operasional yang tinggi. Saya melanjutkan percakapan dengan mengulas aktivitas
Pelabuhan Tanjung Redeb. Ada tiga kapal yang bersandar ketika itu dengan bobot
sekitar 2000 ton dengan kontainer maksimal 20 feet. Alur pelayaran kapal barang
ini sebagian besar dari dan menuju Surabaya dan Makassar dengan barang bawaan
seperti sembako dan semen. Harga pengiriman melalui laut menuju Surabaya dari
pelabuhan ini sekitar 16 juta (Door to
Door) atau 12 juta (Port to Port)
sedangkan dari Surabaya sekitar 8 juta.
Pemandangan salah satu sudut kota yang diambil dari atas jembatan penyeberangan kota. |
Selepas dari Pelabuhan,
perjalanan saya melanjutkan perjalanan menuju UPTD PPI Sambaliung, tempat
dimana transaksi hasil laut oleh nelayan dilakukan yang dibangun sejak sembilan
tahun yang lalu namun baru ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
pada tahun 2016. Menurut keterangan Pak Salman -̶ Kepala PPI Sambaliung -̶ setiap dini hari ada sekitar dua hingga tiga
ton ikan yang didaratkan di pelabuhan ikan tersebut. Ikan-ikan tersebut
sebagian besar untuk keperluan domestik Kabupaten Berau seperti ikan tongkol,
gembong, bawal dan udang laut. Selebihnya, lobster, kakap dan gurami yang
berasal dari Pulau Maratua di ekspor melalui Tarakan dan Surabaya dan kemudian
menuju Singapura, Hongkong bahkan ke Amerika. Tercatat ada 16.766,3 ton
pemanfaatan sumber daya ikan Kabupaten Berau pada tahun 2009 yang didominasi
oleh penangkapan di laut sebesar 15.143 ton atau 90,32%. Dari data yang
didapatkan luas laut Kabupaten Berau yaitu 12.887,47 km2 dengan
panjang garis pantai 279,91 km2.
PPI Sambaliung ini memiliki pendapatan sekitar 250 juta per tahun |
Di sisi lain, tantangan PPI ini
untuk tetap bertahan sangatlah menohok. Banyaknya transaksi perikananan yang
dilakukan bukan sesuai aturan atau dilakukan di PPI menjadi penyebab nomor satu
lambannya kinerja PPI Sambaliung. Tidak hanya itu, Pak Kasman mengeluhkan
tentang kebutuhan nelayan terhadap es balok. Dengan jumlah nelayan sekitar
4000an dengan pabrik es hanya 12 unit yang seharusnya 24 unit, kebutuhan es
semakin sulit apalagi dari 12 unit tersebut kebanyakan hanya menghasilkan 150
balok dibandingkan rekomendasi produksi seharusnya 400 balok. Beliau mengharapkan
agar pemerintah pusat terus memperhatikan permasalahan ini. Selain permasalahan
es balok, harga bahan bakar untuk nelayan juga perlu mendapat perhatian khusus
“Disini kami menjual bensin
sehari Rp.5.150 per liter. Sementara di laut, biasanya masyarakat membeli
secara illegal dengan hanya Rp.4800 per liter secara illegal. Jarak PPI dari
laut juga cukup jauh jadi untuk mencapai SPBN yang satu lokasi dengan PPI ,
nelayan harus masuk ke sungai dengan jarak yang jauh”, tandas Pak Kasman di
ruang kerjanya.
0 comments: